Menemui Moh. Farhan Al-Barizy, santri termuda PPA. Lubangsa Selatan
Bagi sebagian besar anak-anak pada usia pendidikan Sekolah Dasar atau yang sederajat, mungkin akan merasa emoh jika dimondokkan di sebuah lembaga pondok pesantren. Mereka akan berfikir, bukan waktunya jika mereka harus berpisah dari kehidupan keluarga. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Moh. Farhan Al-Barizy, santri termuda PPA. Lubangsa Selatan yang masih berusia 10 tahun.
Bagi sebagian besar anak-anak pada usia pendidikan Sekolah Dasar atau yang sederajat, mungkin akan merasa emoh jika dimondokkan di sebuah lembaga pondok pesantren. Mereka akan berfikir, bukan waktunya jika mereka harus berpisah dari kehidupan keluarga. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Moh. Farhan Al-Barizy, santri termuda PPA. Lubangsa Selatan yang masih berusia 10 tahun.
MOH. HUSRIL MUBARIQ, Lubsel
Pandangan matanya menerawang jauh ke depan. Sementara, kepolosan tampak di wajahnya yang oval. Dan, sarung gelap, baju bermotif kotak-kotak serta kopiah hitam menempel di tubuhnya yang mungil. Ia sedang duduk-duduk santai di pintu kamar pondoknya, blok B nomor 3, sambil menikmati indahnya suasana pagi hari. Begitulah ia mengekpresikan hidupnya pada Kamis (22/5), pukul 07:05 Wib. saat Duta Santri menyambanginya. Dialah Moh. Farhan Al-Barizy, santri termuda PPA. Lubangsa Selatan angkatan 2013-2014.
Kepada Duta Santri, Farhan—demikian santri-santri PPA. Lubangsa Selatan memanggilnya—sedikit berbagi cerita prihal mengenai pengalamannya sebelum hingga ia menjalani hidupnya di pesantren. Farhan mengatakan, ketika hendak memondok di PPA. Lubangsa Selatan sama sekali tidak ada unsur paksaan dari pihak keluarga, melainkan merupakan keinginannya sendiri. “Mondhuk tibi’ (memondok [dengan keinginan] sendiri),” tuturnya sambil sesekali ia menyunggingkan senyuman. “Lebur, bannyak kanca (senang, banyak teman),” imbuh santri kelahiran Sumenep, 19 September 2003 itu saat ditanya tentang alasannya mengapa lebih memilih untuk hidup di pesantren daripada hidup di bawah pengawasan orangtuanya.
Sejauh perjalanan hidupnya di pesantren, bahkan sampai sekarang pun, ia mengaku sering tidak kerasan. “Kadhang terro molea, enga’ ka kanca (terkadang ingin pulang, ingat pada teman [di rumah]),” ungkap santri yang sedang duduk di bangku kelas V Madrasah Ibtidaiyah (MI) 1 Annuqayah putra dan kelas I B Madrasah Diniyah PPA. Lubangsa Selatan itu. Meski demikian, tidak serta merta membuatnya untuk berhenti nyantri. Namun, alumni MI An-Nusyur (lembaga tempatnya menempuh pendidikan sebelum mutasi ke MI 1 Annuqayah) itu selalu berusaha semaksimal mungkin untuk tetap melanjutkan pendidikan di pesantren.
Dan, ternyata di balik kepolosannya, ia memiliki cita-cita yang amat mulia. Mungkin, bagi sebagian orang, cita-citanya adalah suatu hal yang biasa dan sederhana. Tapi, jika dilihat dari usianya yang baru menginjak 11 tahun itu, sebenarnya ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Sebab,—mungkin saja—jarang menemukan anak seusianya yang memikirkan cita-cita dan masa depan sepertinya. Yakni, membahagiakan orangtua. Suatu cita-cita yang sederhana tapi luar biasa. []







Posting Komentar