PERPUSTAKAAN – Perpustakaan sebagai satu-satunya pusat keilmuan santri (Taman Baca) PPA. Lubangsa Selatan resmi ditutup. Tindakan reklektif penutupan perpustakaan murni inisiatif Helmi selaku Koordinator Kepustakaan dan Pengembangan Wawasan (Puspenwas) dengan alasan terapi. “Terapi; mendisiplinkan kondisi Perpustakaan yang sedang dijadikan kamar pribadi Pustakawan; bertumpuknya aksesoris, baju, celana dan alat-alat mandi. Oleh karenanya, sebagian santri dan pengurus non Pustakawan keluar-masuk Perpustakaan dengan mudah tanpa idzin Pustakawan dan Puspenwas” kata Dedi Anwari selaku Ketua Pengurus saat ditemui di Kantor Madrasah Diniyah.
Berdasarkan laporan Puspenwas, Dedi juga menuturkan bahwa alasan ruang Perpustakaan harus dikunci karena sering dijadikan tempat persembunyian santri dan pengurus. Tidak hanya itu, Perpustakaan dijadikan tempat charging HP baik dari sebagian Pustakawan dan juga sebagian Pengurus. “Oleh sebab itu, ruang Perpustakaan harus diterapi,” tuturnya.
Setelah Duta Santri melakukan verifikasi kepada Helmi, dia menjelaskan bahwa ruang Perpustakaan harus segera dikunci karena kondisinya tidak kondusif. Seperti adanya tindakan Pustakawan menjadikan Perpustakaan sebagai “kamar”. Sehingga banyak baju, celana, sarung, bahkan peralatan mandi pun berserakan di ruang Perpustakaan. Oleh sebab itu, Perpustakaan tidak berfungsi seperti layaknya Perpustakaan, melainkan berfungsi sebagaimana layaknya kamar santri secara umum.
Berkaitan dengan santri (non-Pustakawan) dan pengurus yang keluar-masuk tanpa meminta idzin kepada Pustakawan dan Puspenwas, Helmi juga membenarkan. “Kalau hal demikian dibiarkan maka fasilitas Perpustakaan dihawatirkan akan banyak yang hilang,” jelasnya.
Kemudian, soal pernyataan Dedi Anwari tentang ruang Perpustakaan dijadikan tempat Persembunyian santri dan pengurus, serta dijadikan tempat Charging HP, Helmi tidak mengakui persoalan tersebut. Padahal Dedi dengan tegas memaparkan pernyataan tersebut merupakan laporan dari Puspenwas. “Soal Perpustakaan dijadikan tempat persembunyian dan tempat Charging HP, saya tidak tahu, saya lupa apakah mengatakan itu kepada Dedi,” paparnya.
Bagi Helmi nilai baik dengan ditutupnya ruang Perpustakaan ialah kondisi Perpustakaan bisa bersih dari tumpukan baju, dan tiadanya kekhawatiran hilangnya buku. “Saya sebenarnya sudah menilai baik kinerja Pustakawan dan sangat mengapresiasi terhadap mereka yang bisa menulis. Dan jika sebagian Pustakawan merasa terganggu dengan penguncian ini, berarti mereka masih kurang semangat dalam belajar menulis. Berarti mereka belajar menulis masih tergantung dengan fasilitas Perpustakaan. Jadi, dalam berorganisasi itu yang perlu diperhatikan, kita sebagai Pustakawan apa yang akan kita berikan kepada Perpustakaan, bukan manfaat apa yang harus diambil dari Perpustakaan. Memang tidak seberapa kerugian fasilitas Perpustakaan jika ruang Perpustakaan dijadikan kamar pribadi, namun sangat mengganjal bagi saya,” tandasnya.
Ainur Rifqi selaku ketua Perpustakaan menanggapi bahwa tindakan rekleftif yang dilakukan Helmi dalam menutup ruang perpustakaan tidak bermakna “terapi”. Akan tetapi tindakan spekulatif tersebut berarti “pengusiran” kepada semua Pustakawan. “Dalam memindahkan barang-barang milik pribadi Pustakawan tidak harus dengan mematok waktu segala. Misal, disampaikan kemarin, pada jam 12.00 WIB siang semua barang-barang Pustakawan; aksesoris, alat tulis harus segera dipindah ke kamarnya masing-masing,” katanya.
“Kemudian berkenaan dengan ruang Perpustakaan dijadikan tempat persembunyian, itu merupakan pernyataan yang salah, apalagi jika Perpustakaan dijadikan tempat Charging HP. Soal Charging HP, memang ada, tapi dia alumi dan sudah pamit ke saya. Jadi, saya agak heran memang, hal-hal negatif Pustakawan pasti disorot oleh Helmi. Sementara nilai baiknya diabaikan,” tuturnya. Namun meski saat ini perpustakaan diambil alih Puspenwas, Rifqi masih tetap mengajak pustakawan lainnya untuk menerbitkan Mading (Majalah Dinding). Terbukti pasca ditutupnya perpustakaan oleh koordinator Puspenwas Mading Gaung milik Perpustakaan telah terbit. Dan, Rifqi menambahkan, sebelum libur maulid 1436 tiba pihaknya berencana untuk menerbitkan Mading dalam dua edisi.
“Setelah saya terpilih menjadi ketua Perpustakaan, tidak ada satu pun Pustakawan yang tidur, atau nyantai saat pembacaan Ratibul Haddad, maupun saat jam sekolah formal maupun Diniyah. Saya bingung, semua Program perpustakaan; kegiatan diskusi, pengiriman proposal, verifikasi bahan pustaka sudah kami lakukan. Namun dia menilai kami lalai terhadap tanggung jawab,” kata Rifqi. A. Khairurrozi AR dan Sulaiman menjustifikasi pernyataan Rifqi bahwa tentang semua kegiatan Perpustakaan, seperti kegiatan diskusi, pengeriman proposal dan lain sebagainya, pihaknya menjelaskan, “Saya sudah tiga kali mengirim proposal ke penerbit selama Rifqi menjadi ketua Perpustakaan,” ungkapnya.
Bagi Ozhi sapaan akrab A. Khairurrozi AR, “Ditutupnya Perpustakaan oleh Helmi, berarti dia menutup pikiran saya untuk berkreasi. Karena yang menjadi andalan saya dalam belajar menulis, baik opini, puisi, dan cerpen hanya Perpustakaan. Saya memfungsikan Perpustakaan sebagaimana gudang ilmu. Kalau Perpustakaan ditutup, ya tidak lagi berfungsi sebagaimana layaknya taman baca. Perpustakaan beralih status menjadi sarang laba-laba,” ucap Ozhi. Lain halnya dengan Sulaiman, bahwa pihaknya tidak terlalu mengandalkan komputer Perpustakaan dalam belajar menulis. Karena tiadanya komputer, bagi dia bukan berarti semangat belajar menulis harus “mati”. “Saya tetap menulis sekalipun tidak menggunakan komputer (perpustakaan), tapi secara manual; menulis ke buku,” ucapnya.
Hal serupa disampaikan salah satu Anggota Departemen Inventaris, Moh. Faiq. ”Bagi saya, awalnya kegiatan Perpustakaan, lancar-lancar saja. Namun secara tiba-tiba ada rapat dadakan dari Helmi untuk menutup Perpustakaan dengan alasan Perpustakaan harus ditertibkan dari baju-baju pribadi Pustakawan. Hemat saya, soal barang-barang Pustakawan ada di Perpustakaan tidak harus disorot dengan tajam, asalkan Pustakawan bisa melaksanakan dengan baik terhadap program yang telah direncanakan, dan bisa merawat terhadap fasilitas Perpustakaan. Dan saya meyakini semua Pustakawan sudah bisa mempergunakan fasilitas Perpustakaan dengan baik, termasuk komputer. “Saya tidak menggunakan komputer kecuali hanya untuk menulis,” jelasnya.
Kemudian, Rifqi berpendapat dengan tegas, “Jika Helmi mengatakan komputer Perpustakaan digunakan untuk kepentingan pribadi Pustakawan, itu merupakan perkataan yang harus diverifikasi ulang. Komputer Perpustakaan digunakan hanya untuk menulis Opini, Resensi serta katalog Buku. Jika kegiatan belajar menulis Pustakawan dianggap kepentingan pribadi, tentu hal demikian merupakan bangunan gagasan yang harus dibongkar. Bukankah kegiatan belajar menulis Pustakawan merupakan sumbangsih besar terhadap kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Perpustakaan. Jika dia tetap teguh dengan pendiriannya bahwa belajar menulis merupakan kepentingan pribadi, saya mafhum. Mungkin dia kurang banyak paham tentang organisasi,” tegasnya. Sebelum mengakhiri wawancara, Rifqi sempat mempersoalkan perpustakaan yang katannya akan ditertibkan dan dikunci. Namun pada kenyataannya perpustakaan tidak pernah dikunci, sehingga masih sering terlihat pihak pengurus yang keluar-masuk tanpa ada kepentingan, dan bahkan hanya dijadikan tempat tidur oleh koordinator Puspenwas sendiri setiap malam. [Yon/Lunk/Vil/Ron]







Posting Komentar